Anak-anak Gunung Yang (Tidak) Leluasa Bermain-main dan Sedemikian Mengagumi Militer

“Saya pakai begini seperti saya macam mau bawa senapan!”

Demikian tutur MK saat ia menelusupkan jemari pada sarung tangan putih dengan totol kuning di bagian telapak. Sarung tangan jenis ini biasa dipakai pekerja bangunan. MK menemukan sarung tangan yang cuma sebelah itu di seberang sekolahnya, dimana tambahan kelas dan fasilitas sekolah lain baru selesai dibangun. Ia cukup membersihkan seadanya sarung tangan itu dari tanah dan debu yang menempel, lalu menyimpan di noken. Noken adalah penyebutan untuk tas khas papua. Sesekali sarung tangan yang sudah dipotong di bagian ujung jari itu, ia pakai. Di saat bermain atau seperti saat ia mau berlatih marching band pagi itu. Meski stik kayu yang ia pegang, sarung tangan membuat MK berimaji membawa senapan.

_mon_2146

MK dan sarung tangan ‘kutung’ saat berlatih marching band. ©TIMURJALAN

Saya mengenal MK, sejak istri saya, Pipin, mengajar Bahasa Inggris di sekolah-asrama di pinggiran kota Timika untuk kelas 4, 5, 6, 7 dan 8. Pipin mulai mengajar Juli lalu. MK adalah salah satu anak asal pegunungan tengah Papua. Ia dan sejumlah anak diboyong oleh stakeholder sekolah-asrama ini di saat usia layak sekolah. Kampung asal anak-anak ini tersebar di kawasan pegunungan tengah Papua. Beberapa di antara mereka berasal dari kawasan pantai. Yah, anak-anak ini berasal dari sekitaran kawasan dimana perusahaan Freeport mendulang emas dalam skala gigantik. Sebab kawasan kampung asal mereka terdampak tambang, maka mereka bersekolah-asrama dengan biaya ditanggungkan oleh Freeport. Segala kebutuhan keseharian dan persekolahan ditanggung. Mulai dari pakaian sehari-hari, sepatu, seragam, buku tulis, pensil, pena, makan, peralatan mandi, dst., semua disediakan secara cuma-cuma. Dalam perkataan salah satu pengurus sekolah-asrama, “Anak-anak ini datang bawa badan saja”.

IMAJI tentang senapan ini bukan hanya dipunyai MK sendirian. Pernah di saat jam belajar mengajar, Pipin memberi latihan dari materi yang baru dipelajari. Sembari menunggu anak-anak mengerjakan latihan, Pipin berjalan memutar kelas. Di barisan bangku bagian tengah, AJ dan NM sedang kasak-kusuk asik, saling berbisik, saling melihat apa yang masing-masing ditulis. Hanya begitu kehadiran Pipin mereka sadari, segera ditutup lembar buku yang semula ditulisi dengan buku latihan dengan raut wajah cemas.

Di saat Pipin bertanya tentang yang hal yang membuat mereka kasak kusuk tanpa nada marah, AJ dan NM perlahan mau memperlihatkan apa yang sedang diam-diam mereka tulis. AJ dan NM sedang membuat biodata tentang diri mereka. Nama, asal kampung dan senjata yang disukai. Di bagian tentang senjata kesukaan, mereka menulis: sniper.

“Sniper itu orang bukan barang. Baru senjata itu barang ka orang?”, tanya Pipin mencoba memapar tentang pelaku dan benda, sembari mencari tahu apa yang terbayang di benak AJ dan NM.

“Barang”, salah satu menjawab.

“Baru kalian tahu, senjata itu seperti apa?”, lanjut Pipin.

“Iya to, macam parang, pistol, senapan, panah…”, kata AJ.

“Baru ko tau sniper ini dari mana?”, tanya Pipin balik.

“Dari pilem di tipi ibu, itu orang amerika yang tembak-tembak dari jauh”, balas AJ.

Kemudian obrolan berlanjut tentang cerita di film American Sniper, beralih ke beragam jenis senjata api hingga merk, sejauh yang Pipin tahu untuk menanggap kegusaran AJ dan NM tentang sniper, senjata kesukaan. Di ujung obrolan AJ dan NM mengganti kata sniper dengan senapan, di biodata bagian senjata kesukaan, sebelum mereka mulai mengerjakan latihan.

DI SAAT saya mengantar Pipin ke sekolah atau di saat menjemput terlalu awal, saya bergaul dengan MK, AJ, NM dan teman-temannya. Di saat obrolan di antara kami mulai terasa lugas, sesekali saya ikutan dalam permainan mereka. Sebagaimana biasanya anak-anak, hidup keseharian tak pernah luput dari bermain-main. Apa yang dimainkan punya musim dan bergantung musim.

Suatu kali, saat hari tanpa hujan anak-anak ini bermain tali beres. Meski sebetulnya permainan ini tidak melibatkan media tali, tapi begitulah permainan dinamai. Di Jawa, permainan itu dinamai gobak sodor. Anak perempuan dan laki-laki bisa bermain bersamaan. Biasa dimainkan 8-10 anak, dengan 4-5 anak dalam satu tim. Di saat tim yang bermain bisa melewati kotak-kotak yang dijagai tim lawan tanpa tertangkap, mereka berteriak tali beres!

_taliberes1_1

Permainan ini dimainkan hampir setiap saat di waktu-waktu senggang. Seperti saat sebelum mulai jam sekolah atau di saat istirahat. Entah saat matahari sedang terik atau teduh. Tak jarang dimainkan di malam hari dimana cahaya listrik menerangi temaram halaman. Bahkan di saat sedang hujan! Hujan yang derasnya tak serta merta bikin basah kuyub baju dan celana, tak membatalkan anak-anak bermain tali beres. Jamak diketahui, anak-anak Papua itu seolah kebal hujan. Di saat beberapa anak sudah berkumpul dan sepakat bermain, ada yang serta merta rela membuat arena permainan, membuat garis dan kotak di tanah. Beberapa anak akan menyusul dan mengajukan diri ikut bermain. Perkara jumlah pemain, tergenapi begitu saja.

DI LAIN waktu mereka bermain kopkop. Kopkop adalah penyebutan lokal untuk paser. Semula mereka buat dengan meruncingkan ranting di salah satu ujung hingga menyerupai tombak kecil lalu melemparkan ke sasaran. Targetnya, kopkop harus menancap di sasaran, tidak terpental dan jatuh ke tanah. Biasanya dahan dan batang pohon yang menjadi sasaran bidik. Makin tinggi dan makin kecil dahan atau batang pohon yang terkena kopkop, makin master si pembidik kopkop. Master adalah penyebutan bagi mereka yang terampil dan ahli. Di perkara kopkop, yang jitu dalam membidik dan bisa tepat mengenai sasaran adalah yang dianggap master.

Kopkop kebanyakan dimainkan oleh anak laki-laki. Ada anak laki-laki berseloroh, “Kalau ada perempuan bisa panjat dan ambil saya punya kopkop di dahan kecil itu, perempuan itu jodoh saya”. Perkara senjata selalu saja punya mitos yang maskulin, yang menempatkan laki-laki di posisi superior dan pemarjinalan perempuan.

Di saat menggunakan ranting yang diruncingkan, hanya beberapa anak laki-laki saja yang bermain. Berbeda di saat terjadi tren kopkop. Tren muncul di saat kopkop bukan lagi dibuat dari ranting yang diruncingkan. Tren merebak di saat ranting digantikan dengan paku bekas. Di pangkal paku mereka ikat plastik bekas pembungkus makanan. Plastik tersebut berfungsi sebagai penyeimbang sekaligus pengarah, bagi paku, dan untuk sarana pegang kopkop. Hampir setiap anak laki-laki, mulai dari kelas tengah hingga kelas 8 bermain kopkop, yang mereka bikin sendiri dari paku yang sudah tidak digunakan. Cara melempar berpengaruh pada daya luncur kopkop.  Betapa anak-anak ini paham tentang prinsip gaya, prinsip yang ditemukan dalam hukum gravitasi oleh Isaac Newton melalui apel yang jatuh.

Permainan kopkop ini hanya sebentar musimnya. Di saat sedang marak, pihak sekolah-asrama memberlakukan razia dan menahan semua kopkop. Razia dilakukan di asrama. Anak-anak tak kapok. Di saat kopkop yang dipunyai ketahuan saat razia, diambil dan ditahan, mereka membuat kopkop baru. Yang bikin heran, mereka masih membuatnya dari paku bekas. Paku bekas ini mereka sengaja cari dan temukan di lokasi bangunan tambahan, area dimana MK juga menemukan sarung tangan kutung. Bagaimana tak bikin heran, jika anak-anak itu masih saja bisa menemukan paku bekas. Entah yang masih nampak baru, lurus, tidak bengkok dan belum berkarat. Entah yang sudah berkarat, atau bengkok. Jika mereka menemukan paku yang bengkok dan berkarat, mereka hilangkan karat dengan menggosok-gosok ke batu. Sebelumnya mereka luruskan paku, juga dengan batu.

Saya membatin, sebetulnya pihak sekolah dan asrama layak memberi salut dan berterimakasih pada anak-anak. Sebab kecermatan anak-anak, lokasi tambahan di sekolah itu aman dari paku dan besi bekas, yang bisa melukai anak-anak dan kemungkinan terkena tetanus karena besi-besi bekas yang berkarat. Bayangkan, ada sekitar 100 anak yang bermain kopkop. Maka kurang lebih ada 100 paku bekas yang ditemukan. Razia pihak sekolah dan asrama, menahan dan mengambil semua kopkop milik anak-anak itu. Salah satu pengurus sekolah-asrama mengaku berhasil menemukan sekitar 200an kopkop milik anak-anak. Mungkin saja satu anak punya dua atau tiga kopkop. Belum terhitung, kopkop yang baru, yang lalu dirazia dan diambil oleh pihak sekolah-asrama.

Bisa terbayang, jumlah paku atau besi bekas yang sengaja dicari dan terkumpul oleh anak-anak. Jumlahnya bukan sedikit. Tapi sebagaimana yang jamak berlaku, bagi orang dewasa apalah arti keberadaan anak di luar prestasi formal, apalah guna kecermatan dan ketrampilan anak yang tak terukur dengan angka raport. Dalam konteks kopkop ini, orang dewasa ini adalah pendatang, bukan orang papua. Dalam pemahaman orang dewasa pendatang ini, kopkop itu berbahaya. Ya, semata-mata berbahaya.

_mon_2457

Bermain ‘kopkop’ yang terbuat dari kayu yang diruncingkan. Sasaran ‘kopkop’ bisa batang/dahan pohon, bisa juga binatang buruan. ©TIMURJALAN

Konon, razia dilakukan dua kali, menyusul pelarangan keras terhadap permainan kopkop. Keras dalam konteks ini bukan semata pola pemberlakukan pelarangan yang ketat, seperti pemeriksaan yang berulang-ulang dan tertibnya pengawasan. Keras itu bisa berarti dalam tindakan. Mitos bahwa anak Papua itu kepala batu seolah mengamini tindakan kekerasan fisik sebagai sanksi dan hukuman. Pihak stakeholder yang kebanyakan orang Papua sendiri, menyetujui dan merelakan anak-anak mendapat sanksi dan hukuman dengan kekerasan fisik.

Saya sempat bertanya pada beberapa anak, “Apa ada yang terkena kopkop?” Dalam dialek Papua pegunungan, beberapa anak menjawab tidak ada. “Dulu sekali, ada yang kena, tapi luka sedikit saja”, demikian ada anak yang coba menambahkan penjelasan. Saya bertanggap, bahwa mereka tidak master, jika sampai ada yang terluka. “Iyoee, kita ini malu kalau pulang ke kampung, teman-teman di kampung itu su master kopkop semua jadi”, seorang anak menimpali.

Terang saja, di kampung asal anak-anak ini, keseharian anak lebih leluasa. Sekolah di kampung jarang ada guru. Jika pun toh ada guru, bukan jaminan bahwa kegiatan sekolah bakal berjalan lumrah. Sebagian besar waktu, dihabiskan anak di kebun atau di hutan, entah bermain atau membantu orang tua. Sementara MK, AJ, NM dan teman-teman, seharian penuh harus berada di sekolah dan asrama. Di saat libur sekolah, mereka baru bisa pulang ke rumah. Itu pun kalau orang tua atau saudara datang menjemput.

Bisa saja bersekolah dengan asrama di kota membuat MK, AJ, NM, dkk menjadi berbeda dibanding anak-anak seusianya yang tetap tinggal di kampung. Mereka lebih melek dan terbiasa dengan pola hidup yang rutin dan dianggap modern. Seperti lebih terampil baca, berhitung, teratur mandi, makan, berganti pakaian, dst. Hanya mereka harus menebus dengan kehilangan sejumlah ketrampilan hidup di kampung. Sebut saja salah satunya, ketrampilan yang bisa diperolah dari kopkop: membidik tepat ke sasaran.

Belum lagi ketrampilan soal berkebun, memotong kayu, dst. Boleh jadi sejumlah hal itu nampak sebagai perkara teknis belaka. Dalam praktik tidak demikian, sejumlah ketrampilan itu bermuara pada kemampuan hidup bermasyarakat di kampung. Sebutlah soal berkebun, bukan semata urusan tentang menanam, tapi juga melibatkan kepekaan pada musim, tanah dan ketersediaan air. Ada hasil kebun tertentu yang dibutuhkan di musim tertentu, seperti terkait dengan keperluan ritus kultural adat. Karenanya, kapan tanaman tertentu ditanam sudah diperkirakan waktu panennya. Kegagalan berhitung musim terkait dengan perkara berkebun, berarti juga ketidakmampuan mengurus adat. Bisa diduga dampaknya, lambat laun bakal hilang pula adat itu.

USAI tren kopkop, muncul musim bermain pondok-pondok. Di Papua, pondok ini biasa dibikin di kebun. Biasa dipakai untuk istirahat di sela waktu berkebun, berteduh dari hujan dari terik matahari dan membakar hasil kebun atau binatang buruan. Pondok ini mirip dengan dangau. Hanya kalau di pondok, selalu ada perapian; tempat untuk pembakaran. Bagi saya, perkara membuat perapian di bangunan yang sepenuhnya kayu adalah kerumitan tersendiri. Hanya MK, AJ, NM, dkk. ini, anak-anak di usia 9 hingga 16 tahun, trampil membuatnya.

_site1751

Bermain ‘pondok’. Kontruksi pondok ini diperoleh anak-anak dari lingkungan sekolah. Mereka mengerjakan tanpa peralatan seperti palu atau gergaji. Yang mereka pakai, batu untuk pemukul paku dan parang untuk memotong kayu. Paku, mereka cari dan temu dari sisa di bangunan baru sekolah-asrama mereka. ©TIMURJALAN

Awalnya ada sejumlah anak membuat pondok dengan ukuran kecil, mepet di belakang rumah asrama. Sebab ukuran yang kecil dan atap yang rendah, pondok hanya cukup menampung 5 anak secara bersamaan. Pondok kecil ini memancing anak-anak lain membuat pondok-pondok yang lain. “MB itu yang bikin pondok pertama, kita ini ikut bikin di belakang”, cerita IB. Ia bercerita kalau mereka ikutan bikin pondok karena MB. MB dan IB adalah anak kelas besar.

IB dibantu beberapa teman juga bikin pondok. Lokasinya mepet dengan pagar beton yang memagar keliling sekolah asrama ini. Anak-anak menyebut pondok itu Pondok IB. Boleh jadi karena IB yang membuat, sementara teman-teman lain hanya membantu sedikit. Jika pondok bikinan MB sepenuhnya dari kayu, di pondok milik IB terdapat besi bekas pagar, yang difungsikan sebagai dinding dan penyangga. Sementara untuk penyangga dan dinding di bagian lain, IB memanfaatkan keberadaan tembok beton. Di bagian atap, IB memakai daun seng bekas pagar dari bangunan tambahan yang baru dibangun.

Tak seberapa jauh dari pondok IB, anak-anak dari kelas yang lebih kecil juga membikin pondok. Di saat bersamaan, 2 pondok juga dalam proses pembuatan oleh anak-anak yang lain. Begitu pondok yang berada di dekat pondok IB itu jadi, ada tulisan ditempel di bagian dalam pondok dengan memakai serpihan triplek. Demikian tulisannya, Honai KRG dengan sejumlah singkatan nama-nama pembuat pondok di bawahnya. Saya pernah mencoba bertanya kepanjangan dari KRG. Anak-anak cuma menjawab itu hanya nama karangan saja. Tidak ada arti. Ada kesan bahwa mereka merasa saya tidak perlu tahu tentang itu. Kesan itu seolah peringatan begini: Kami tidak mau dapat masalah, lebih-lebih dapat marah.

_mon_2950

Rumput biasa dipakai di bagian atap atau alas di dalam pondok. Di dinding bagian luar, tertulis: DILARANG MASUK DI PONDOK. KRG. ABG. DPK. JB, dst. ©TIMURJALAN

Jawaban baru saya peroleh selang beberapa minggu. Justru di saat pondok itu sudah dibongkar. Kini hanya bekas perapian saja yang masih terlihat. Ada satu orang anak bilang, KRG itu akronim dari: Kembali Rasta Ganja. Anak itu tertawa di saat saya tertawa mendengar kepanjangan dari KRG.

“Lalu kenapa pondok itu dibongkar?”, tanya saya.

“IB tidak suka kita bikin pondok di dekat pondoknya. IB minta kita pindah,” jelas beberapa anak Honai KRG, yang usianya lebih muda dari IB.

“Iyoo, IB tidak suka kita dekat-dekat pondok militer”, tambah anak yang lain.

Pondok yang semula dinamai Pondok IB oleh anak-anak lain, beralih nama setelah Honai KRG dibikin. Pondok IB dikenal dengan nama Pondok Militer. Saat saya bertanya kenapa diberi nama itu, tak ada yang tahu. Di saat kami memulai proyek foto partisipatif, pertemuan pertama diadakan di pondok milik IB. IB tidak muncul di saat pertemuan. MO teman dekat IB, yang terlibat sebagai salah satu peserta, bilang IB tak akan marah kalau kita pinjam pondok untuk pertemuan.

Seusai pertemuan, saya bertemu IB. Saya berterima kasih pada IB, karena tadi sudah boleh memakai “pondok militer” untuk pertemuan. Saat saya menyebut pondok militer, IB membuang badan  seolah rikuh, sembari bilang, “Ah!” Itu adalah ekspresi khas Papua, yang bisa diartikan sebagai negasi atau mementahkan anggapan yang sudah terlontar. IB nampak mau menghindar, saat saya coba bertanya, kenapa dinamai pondok militer. Ia cuma bilang bahwa bukan nama itu yang ia bikin untuk pondoknya. Hanya anak-anak lain menyebutnya Pondok Militer. Di saat pertemuan di pondok IB, saya lihat ada dua bantal di dalam pondok. Salah satu bantal terdapat tulisan-tulisan begini: DILARANG BUANG. BARANG MILIK MILITER. NEGELARKI. Negelarki adalah nama jenis burung dalam bahasa salah satu suku di Papua.

_site1745

Salah satu bantal di pondok militer IB. ©TIMURJALAN

Cerita dari sejumlah anak dari kelas kecil tentang pondok militer milik IB itu mengingatkan saya pada kisah pos militer. Pos ini biasa terdapat di sejumlah perbatasan wilayah administratif di Papua. Pengalaman pertama saya terkait pos militer teralami di tahun 2009, di saat pertama menjejak kaki di tanah Papua ini. Saat itu saya ikut seorang diakon, petugas gereja, yang berkunjung ke Genyem, Sentani.  Di tengah jalan, diakon yang amber (pendatang dalam bahasa lokal di Jayapura) tiba-tiba bertanya, apakah saya membawa kamera. Saya mengiyakan. Beliau menimpali dengan sejenis kecemasan, bahwa jangan sampai saya dikira wartawan. Saya lalu bertanya, siapa yang akan menduga saya wartawan dan ada dampak dari dugaan itu. Si diakon secara singkat, bilang kalau kita akan melewati pos militer, yang biasanya akan melakukan pemeriksaan barang-barang dan bertanya banyak hal. Seolah ada kecemasan, rasa was-was dan ketakutan berlebihan di saat melintas pos militer.

Kecemasan, was-was dan ketakutan yang sama muncul dalam cerita-cerita sejumlah orang, yang bahkan warga Papua sendiri, terkait dengan pengalaman melewati pos militer. Cerita anak kelas kecil bahwa IB, si pemilik pondok militer tidak suka pondok lain berada di dekat pondoknya, seolah alasan yang membuat sejumlah anak kecil pemilik pondok KRG, tidak boleh berada di dekat pondok militer. Pos militer selalu diimajikan dengan kesan sangar dan terbitnya ketakutan.

BEKAS bongkaran Honai KRG, sebagian dipakai untuk membuat pondok baru, yang dibikin di tengah-tengah halaman belakang asrama. Mereka yang bikin pondok baru ini adalah anak-anak kelas kecil, beberapa di antaranya ikutan pula membuat Pondok KRG. Dari tiang-tiang yang dipakai untuk struktur utama, nampak pondok itu berukuran besar. Tiga kali lipat luasnya dibanding Pondok Militer dan beberapa pondok lain yang sudah lebih dulu dibangun.

Suatu sore, nampak pondok baru itu selesai dibikin. Meski sebagian kecil lantai terlihat menganga berlubang, sebab belum tertutup alas yang biasanya juga dari kayu. Beberapa anak duduk di tengah pondok, ada yang tiduran, sebagian lain bersandar di tiang-tiang penyangga pondok. Api menyala di perapian, dengan asap mengepul berhamburan ikut arah angin. Ada kain warna merah, dipasang dengan tiang, sebagai bendera di atas atap pondok. Saat berada di dekat pondok, terbaca tulisan di bendera itu: BARET MERAH, di bawahnya terdapat sejumlah inisial nama: POK, RAR, KEL, dst. Beberapa benda di sekitar pondok, seperti sekop, kotak untuk sampah yang terbuat dari plastik, juga bertulis: Baret Merah.

_site1756

Baret Merat di kotak pembuangan. ©TIMURJALAN

MK, salah satu pembuat dan anggota pondok, cerita bahwa Baret Merah adalah nama pondok itu. Saya bertanya, “Kenapa kasih nama Baret Merah?” MK bertanggap dengan seloroh, “Kita ini yang paling dekat dengan Pondok Militer jadi.” Seloroh MK, seolah pengetahuan bahwa hanya yang menyerupai militer yang bisa berada di dekat pondok militer.

PENGALAMAN terkait militer bukan hal baru bagi anak-anak ini. MB pernah cerita, bahwa fam (nama keluarga) yang ia punya dulu hanya ada di satu kampung di kawasan Pegunungan Tengah Papua. Hanya sejak militer merambah kampung mereka, sejumlah keluarga terpaksa mengungsi, hidup berpindah-pindah dari kampung ke kampung; yang berjarak beberapa hari dengan berjalan kaki. Satu-satunya akses ke kawasan dimana kampung MB berada hanya bisa diakses dengan jalan kaki dan helikopter.

_site1764

Corat-coret di kepala, menandai sebagai kelompok Baret Merah. ©TIMURJALAN

Dong waktu itu kasih turun bom ke kampung, kita ini lari sembunyi ke hutan-hutan”, kata MB. Dong, adalah singkatan dari dia orang, dalam bahasa lokal.

“Siapa cerita begitu,” balas saya.

“Sa pu tete (kakek) yang cerita”, kata MB.

Di kampungnya, menurut cerita MB, terdapat sejumlah lubang-lubang bekas bom. MB bilang, beberapa kali kampungnya ‘disambangi’ militer. Pertama saat MB punya tete (kakek) masih kecil, lalu saat bapa masih kecil. Kisah mengenai masa-masa itu masih sering dituturkan oleh orang-orang tua saat malam menjelang tidur. Betapa pengalaman terkait dengan militer di masa lalu, masih terus-menerus dihidupi di masa kini, terutama warga Papua dari kawasan Pegunungan Tengah.

Di Papua, keberadaan militer terus menerus bertambah dari tahun ke tahun. Di tahun 2012, perkiraan jumlah pasukan TNI di Papua mencapai 14.842 orang. Dengan rincian: TNI AD 13.000 orang, TNI AL 1.272 orang, dan TNI AU 570 orang. Jumlah ini hampir setara dibanding jumlah prajurit TNI dalam situasi Darurat Militer di Aceh di tahun 2003. Sementara Papua dan Papua Barat, tidak sedang berada dalam status Darurat Militer maupun Sipil. (Jurnal Asasi Edisi Januari – Februari 2015). Meski hingga sekarang belum terdapat data resmi mengenai jumlah personil militer, berdasar perkiraan jumlah itu Papua masih dianggap sebagai kawasan yang memerlukan keberadaan militer sebagaimana situasi darurat.

Meski anak-anak Papua ini adalah generasi yang lahir dari mama, bapak, dan tete-nene (kakek-nenek) yang alami kekerasan militer, bukan berarti anak-anak Papua yang berasal dari kawasan pegunungan tengah masa kini enggan terhadap militer. AJ, seorang anak asal pegunungan tengah Papua, pernah bilang saat saya tanya tentang cita-cita. Ia bilang mau jadi tentara. “Biar sa bisa kasih aman Indonesia dan orang-orang di sini”, kata AJ.

(potongan video tentang cita-cita AJ di https://youtu.be/dhXJmdxvHaU)

Empat belas hari lalu, di sepuluh tahun yang lalu, Theys Eluay, ditemukan mati karena dibunuh. Tepatnya 11 November 2001. Malam sebelumnya Theys mengalami penculikan, seusai ia menghadiri peringatan Hari Pahlawan di markas Kopassus di Hamadi, Jayapura. Theys, adalah salah satu tokoh Papua yang di masa-masa akhir hidupnya, sebelum dibunuh, dianggap kritis dalam menyuarakan aspirasi dan hak-hak hidup bagi warga Papua. Berdasar penyelidikan, pelaku penculikan dan pembunuhan adalah militer. Modus penculikan dan pembunuhan Theys diduga berkaitan dengan sejumlah upaya ‘pengondisian’ keamanan di Papua. Aman berarti terbungkamnya aspirasi dan suara kritis terkait hak-hak warga Papua agar hidup layak dan manusiawi. AJ, yang kini duduk di bangku kelas 4, nampaknya paham bahwa aman itu adalah urusan militer.

(Vembri Waluyas, fotografer dan videomaker independen, tinggal di Papua. email: vembriwaluyas@gmail.com)